Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pandangan dan Masukan atas RUU tentang Perubahan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba - Rapat Panja Minerba Komisi 7 dengan Pimpinan Komite II DPD-RI

Ditulis Tanggal: 28 Apr 2020,
Komisi/AKD: Komisi 7 , Mitra Kerja: Pimpinan Komite II DPD-RI

Pada 27 April 2020, Komisi 7 DPR-RI melaksanakan Rapat Panja RUU Minerba dengan Pimpinan Komite II DPD-RI tentang pandangan dan masukan atas RUU tentang perubahan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Rapat dipimpin dan dibuka oleh Eddy S dari Fraksi PAN dapil Jawa Barat 3 pada pukul 11:08 WIB.

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pimpinan Komite II DPD-RI

Masukan dari DPD-RI terhadap RUU Minerba:

  • Bagian Konsiderans: (a).Pada konsiderans menimbang huruf C yang semula berbunyi “bahwa pengaturan mengenai pertambangan mineral dan batubara yang saat ini diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih belum dapat menjawab perkembangan, permasalahan dan kebutuhan hokum dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara, serta masih perlu disinkronisasikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait agar dapat menjadi dasar hukum yang efektif, efisien dan komprehensif dalam penyelenggaraan pertambangan” DIUBAH menjadi “bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional dan putusan Mahkamah Konstitusi dibutuhkan perubahan terhadap UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) agar dapat memberikan jaminan hukum terpadu dalam pengelolaan dan pengusahaan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, aspiratif, efisien dan berwawasan lingkungan, dan (b). Penambahan Pasal 22D UUD 1945.
  • Ketentuan Umum: (a) Pasal 1 ayat (6a) perlu adanya penambahan frasa “bekerja sama dengan Pemerintah Daerah” sehingga berbunyi “Kuasa Pertambangan Mineral dan Batubara adalah kuasa yang diberikan negara kepada Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah” , (b) Pasal 1 ayat (20) tidak perlu secara detail menetapkan persentase nilai tambah terkait proses pengolahan, karena setiap komoditas mineral dan batubara memiliki kekhasan di dalam proses pemurniannya, (c) DPD-RI melihat pada pasal 11, Pasal 75, penyisipan Pasal 7A dan Pasal 123A dalam RUU Minerba melibatkan
    Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga penting dinormakan di bagian Ketentuan Umum dengan ketentuan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Penambahan ketentuan umum tentang BUMN sangat penting karena BUMN perlu memiliki peranan yang khusus dalam usaha Pertambangan Indonesia, (d) DPD-RI melihat pada Pasal 11, Pasal 75 dan 112 dalam RUU Minerba melibatkan BUMD sehingga penting dinormakan di bagian Ketentuan Umum dengan ketentuan BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah. Penambahan ketentuan umum tentang BUMD sangat penting karena BUMD perlu memiliki peranan yang khusus dalam usaha Pertambangan Indonesia, (e) DPD-RI melihat pada RUU Minerba perlu melibatkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) sehingga penting dinormakan di bagian Ketentuan Umum dengan ketentuan BUMdes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Penambahan Ketentuan Umum tentang BUMdes sangat penting karena BUMdes perlu memiliki peranan yang khusus dalam usaha Pertambangan Indonesia dan (f) DPD-RI mengusulkan penambahan pasal terkait kontrak bagi produksi, sehingga perlu menormakan satu ayat mengenai kontrak bagi produksi yang didefinisikan sebagai bentuk kerja sama antara BUMN dan/atau BUMD dengan pihak lain untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi mineral dan batubara di dalam.
  • Perencanaan Pengelolaan Minerba: DPD-RI menilai pada Pasal 6 ayat (1) huruf f perlu ditambahkan kondisi dimana Wilayah Pertambangan (WP) berbatasan dengan negara lain. Jika WP tersebut berbatasan dengan negara lain, maka kewenangan untuk menerbitkan IUP diserahkan kepada Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan penetapan WP dari Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan DPR-RI seperti yang sudah diatur dalam RUU Minerba.
  • Keterlibatan Koperasi dan BUMdes: DPD-RI mendorong untuk memperkuat kewenangan pemerintah daerah dan melibatkan koperasi dan BUMdes dalam kegiatan usaha pertambangan dalam rangka memperkuat perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa pasal diatur seperti di Pasal 38, Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2).
  • Pelestarian Lingkungan: DPD-RI menilai bahwa dalam melakukan eksplorasi SDA khususnya mineral, logam dan batubara harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan sesuai aspek tata ruang, kecukupan lahan, dan jumlah cadangan mineral logam, seperti yang diatur pada Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2) huruf a, Pasal 52 ayat (2) huruf b, Pasal 61 ayat (3), Pasal 68 ayat (2) huruf b. Regulasi terkait tanggung jawab konservasi seperti kerusakan hutan melihat pertambangan mineral dan batubara harus jelas dan tegas. Pemegang lain usaha pertambangan harus memiliki kewajiban dalam merehabilitasi bekas tambang yang nantinya akan dijadikan irigasi dan pariwisata.
  • Wilayah kerja pertambangan: DPD-RI menilai bahwa pada Pasal 61 perlu ditambahkan aturan yang mewajibkan pemegang IUP Eksplorasi Batubara untuk melakukan pengelolaan WIUP paling lama 6 (enam) bulan setelah WIUP diperoleh. Hal ini mengingat berdasarkan temuan DPD-RI di lapangan, banyak WIUP yang ditelantarkan walaupun izin sudah diberikan. Pada tahun 2018 di Kalimantan Timur ditemukan bahwa dari 266 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dan Kontrak Karya, hanya 56 yang aktif, sedangkan 183 izin usaha lainnya berada dalam kondisi tidak aktif.
  • Keterlibatan pengusaha kecil dalam usaha Pengolahan dan Pemurnian Mineral dan Batubara: DPD menilai bahwa pembangunan smelter untuk pengolahan dari pemurnian mineral dan batubara selama ini hanya menguntungkan kelompok usaha besar sehingga pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di daerah harusnya melibatkan BUMdes dan UMKM dan juga Koperasi, Hal ini sesuai dengan usulan pada Pasal 103 ayat (5), Pasal 103 ayat (6) dan Pasal 103 ayat (6a). DPD-RI menilai bahwa dengan melibatkan Koperasi, UMKM dan BUMdes setempat akan dapat meningkatkan perekonomian wilayah setempat.
  • Tenaga Kerja: Pasal 106 RUU Minerba menyatakan kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk mengutamakan rapan tenaga kerja local dari daerah kabupaten/kota penghasil atau dari kabupaten/kota lain di provinsi penghasil mineral dan batubara. Selain itu, Pasal 125 ayat (3) juga menjelaskan bahwa pemegang IUP dan IUPK yang menggunakan jasa pertambangan wajib menggunakan kontraktor local dan tenaga kerja local. Hal tersebut dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, penterapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah pertambangan. Oleh karena itu, DPD-RI mengusulkan agar dicantumkan persentase keterlibatan masyarakat local sekitar daerah pertambangan yaitu 60% dari total tenaga kerja.
  • Jangka Waktu Divestasi: DPD-RI menilai bahwa Pasal 112 ayat (1) perlu diubah dengan mencantumkan jangka waktu pelaksanaan divestasi. DPD-RI mendorong kewajiban ini diatur secara tegas agar divestasi dapat dilaksanakan secara konsisten. Cakupan kewajiban divestasi yang tercantum dalam RUU Minerba masih sangat terbatas dimana jangka waktu kewajiban divestasi hanya ditujukan untuk Badan Usaha pemegang IUP Operasi Produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing lebih dari 51% dan terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan Pemurnian atau pembangkit listrik tenaga uap (kewajiban divestasi saham dimulai dalam jangka waktu 10 tahun sejak kegiatan penambangan dilakukan). Sementara itu, Badan Usaha Asing yang memegang IUP dan/atau IUPK lainnya belum diatur di dalam RUU Minerba ini.
  • Pengaturan Bagi Hasil: DPD-RI menilai pemerintah kabupaten/kota penghasil tidak layak mendapat bagian 6%, hal ini dirasa tidak adil, DPD-RI mengusulkan minimal pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapatkan bagian 8%. Dari 8% dialokasi untuk provinsi 2% dan daerah sekitarnya masing-masing 1% sedangkan untuk daerah penghasil adalah sebesar 5%. Hal ini sesuai yang tertera dalam Pasal 129 ayat (1), Pasal 129 ayat (2) huruf a, Pasal 129 ayat (2) huruf b dan Pasal 129 ayat (2) huruf c.
  • Jangka Waktu Penambang: Mengacu pada PAsal 169A RUU Minerba yang menyatakan pemegang kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara berhak mengusahakan kembali Wilayah Pertambangan tersebut dalam bentuk IUPK perpanjangan maksimal 2 kali 10 tahun. DPD-RI menilai bahwa jangka waktu penambangan harus dibatasi sesuai perundang-undangan yang berlaku, kemudian bekas wilayah pertambangan tersebut perlu dihutankan dalam kurun waktu tertentu sebagai proses pemulihan pertambangan.
  • Izin Usaha Pertambangan: (a) Pasal 172A ayat (1) RUU Minerba menyatakan bahwa permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi (OP) dapat dijadikan paling cepat 4 tahun dan paling lambat 1 tahun sebelum berakhirnya IUP Operasi Produksi untuk mineral dan batubara. Selain itu Pasal 172A ayat (2) RUU Minerba menjelaskan permohonan perpanjangan IUPK Operasi Produksi dapat diajukan paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun sebelum berakhirnya IUPK OP untuk mineral dan batubara, sehingga aturan-aturan tersebut terkesan memudahkan pemegang IUP OP dan IUPK OP untuk melakukan perpanjangan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Menanggapi hal tersebut, DPD-RI berpendapat agar pemegang IUP OP dan IUPK OP hanya memegang izin OP yang tidak dapat mengajukan perpanjangan secara otomatis. Jika masa berlaku IUP OP dan IUPK OP telah habis, maka lahan pertambangan harus dikembalikan kepada negara dan proses setelahnya menggunakan cara lelang, (b) RUU Minerba belum menjelaskan secara rinci terkait aturan luas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), walaupun Pasal 73 RUU Minerba telah menjabarkan peranan pemerintah daerah dalam mendukung Usaha Pertambangan Rakyat, sehingga DPD-RI menilai penjelasan mengenai WPR dan IPR perlu dimasukkan ke dalam batang tubuh RUU Minerba untuk mencegah adanya potensi dan risiko Korupsim Kolusi dan Nepotisme (KKN) di daerah terkait pengelolaan WPR dan (c) Pasal 40 ayat (1a) RUU Minerba mengizinkan pemegang IUP memiliki lebih dari 1 IUP dalam suatu wilayah provinsi dengan komoditas tambang yang sama. DPD-RI menilai agar pemegang IUP tidak dapat memiliki lebih dari 1 IUP dalam satu provinsi dengan komoditas
    tambang sejenis maupun tidak sejenis. Hal tersebut dikarenakan dapat menutup kesempatan bagi pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara lainnya untuk melakukan usaha pertambangan. Selain itu, jika mengizinkan pemegang IUP memiliki lebih dari 1 IUP, maka pelaku usaha pertambangan hanya akan berputar pada lingkup yang sangat terbatas.
  • Komite II DPD-RI memasukkan pasal terkait saham 51% adalah supaya investasi kita lebih besar dari asing.
  • Tentang perpanjangan izin untuk tidak diserahkan langsung kepada negara adalah karena adanya kerusakan-kerusakan yang dilakukan akibat dari tindakan yang kurang benar. Hal ini perlu dievaluasi. Oleh karena itu, perlu semacam permohonan izin ulang kepada daerah.
  • Tentang kewenangan daerah yang berlebih, memang harus begitu seperti tercantum dalam UU bahwa Pemerintah Pusat harus menghormati kewenangan daerah, hak-hak daerah dan desentralisasinya.
  • Tentang izin-izin yang tidak jalan, banyak izin-izin di bidang pertambangan, perkebunan banyak yang tidak jalan. Harus ada suatu kebijakan, jangan terus dibiarkan seperti itu. Jangan sampai tidak bekerja tetapi menutup pintu, sedangkan ekonomi harus terus berjalan.
  • Komite II DPD-RI sependapat Clean n Clear ini diperlukan karena jika tidak ada CnC ini bagaimana melihat perusahaan bisa jalan sedangkan kita tidak tahu apakah persyaratannya lengkap.
  • AMDAL harus jelas dan dipilih kembali setingkat mana AMDAL harus ada. Jika AMDAL tidak ada maka akan bahaya.
  • Perpanjangan otomatis tidak ada dan harus ditarik dulu karena selama ini banyak perusahaan yang melakukan pelanggaran dan daerah yang tahu bukan pusat. KOmite II DPD-RI setuju daerah harus diberi kesempatan untuk melakukan penilaian sebelum izin dikeluarkan.
  • Banyak izin-izin yang tidak jalan, baik pertambangan, kebun atau hutan. Perlu suatu kebijakan disini agar perekonomian tetap jalan.
  • Tahun 2018 wilayah Kalimantan Timur terdapat 183 izin yang tidak aktif pada saat itu.
  • Komite II DPD-RI sudah menyiapkan draftnya dan akan dikirimkan segera ke pimpinan Komisi 7

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan